Senin, 27 Desember 2010

Guru Tanpa Moralitas Dan Moralitas Tanpa Guru

Oleh
D. HERMANSYAH
STAF KECAMATAN BANYUASIN III

Dalam beberapa minggu ini penulis mencatat sedikitnya ada 3 kejadian yang patut menjadi perhatian yang terjadi di dunia pendidikan yang diberitakan oleh Harian Banyuasin.
1.     Dilarangnya salah satu siswa SD Negeri 2 Kenten masuk sekolah yang katanya dikarenakan nakal.
2.     Dugaan pemotongan Dana Beasiswa Miskin (DBM) di beberapa sekolah di Kabupaten Banyuasin.
3.  Pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah terhadap siswi MTs Lubuk Lancang.

Kalau boleh penulis menyebutnya semua itu ”Tanpa Moralitas”.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, istilah Moral berarti ajaran tertentu, baik buruknya perbuatan, sikap, akhlak, budi pekerti, susila yang diterima oleh orang pada umumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Moralitas adalah prilaku yang diyakini banyak orang sebagai benar dan sudah terbukti tidak menyusahkan orang lain, bahkan sebaliknya akan menyenangkan orang lain.
Berdasarkan definisi tersebut jelas kejadian-kejadian tersebut dilakukan oleh ”oknum” guru yang tidak punya moralitas (tanpa moralitas).
 Adalah tanpa moralitas, seorang guru yang melarang muridnya masuk sekolah, padahal hak seorang murid adalah untuk mendapatkan pendidikan, ilmu pengetahuan dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sekolah. Adalah tanpa moralitas, seorang guru yang melakukan pemotongan dana beasiswa yang diperuntukan bagi murid yang tidak mampu/miskin, padahal dari dana beasiswa inilah murid yang tidak mampu dapat memenuhi kebutuhan atas pendidikannya. Adalah tanpa moralitas, seorang guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya, padahal hak seorang murid untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman dari gurunya.
Atas kejadian-kejadian itu seharusnya membuat kalangan pendidik merasa malu. Memang itu dilakukan oleh ”Oknum” yang dilakukan oleh segelintir guru. Tetapi secara umum masyarakat kita menilainya bahwa berbagai tindakan itu dilakukan oleh guru.
Sering kita dengar bahwa kata ”Guru” merupakan singkatan dari Digugu dan Ditiru, yang mengandung makna bahwa seorang guru  harus diterima nasehatnya dan diikuti perilakunya. Guru adalah teladan dan panutan, guru sebagai penjaga moralitas bangsa, sebagai pentransfer ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik.
Kalau dalam diri guru saja sudah tidak kita temukan ajaran-ajaran moralitas, lalu dimanakah kita akan belajar/berguru tentang moralitas ini ?
Ada yang berpendapat bahwa pendidikan moral merupakan tanggung jawab orang tua. Anak dari lahir (non moralitas) dengan melihat prilaku dan mentaati aturan-aturan orang tuanya menjadi anak bermoral. Keluarga merupakan tempat belajar moralitas yang utama. Namun tidak jarang kita jumpai kejadian-kejadian tanpa moralitas yang terjadi dalam keluarga, orang tua membunuh anaknya, anak membunuh orang tuanya, Bapak memperkosa anaknya dan KDRT-KDRT lainnya.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa lingkungan mempengaruhi moralitas seseorang. Lingkungan yang berpendidikan, lingkungan yang berkecukupan diyakini mempunyai moral yang baik dibandingkan di lingkungan yang kumuh dan miskin. Padahal banyak kita temui orang makin berpendidikan, makin berkecukupan makin tidak bermoral. Sebaliknya dalam lingkungan yang sederhana, kumuh, miskin sering kita temukan ajaran-ajaran moral, saling mengasihi, saling berbagi, dan sabar dalam menghadapi hidup.
Ada lagi yang berpendapat pendidikan moral didapat dari pendidikan agama, dari perintah dan larangan Tuhan yang disampaikan melalui utusan dan ayat-Nya. Tapi banyak juga kita lihat, orang yang tinggal di tempat atau di negara yang agamis tetapi tidak bermoral, malah sebaliknya banyak orang bermoral di tempat yang non agamis.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar tepat untuk belajar/berguru tentang moralitas. Lalu dimanakan moralitas yang sebenarnya ?
Moralitas yang sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Karena masing-masing kita adalah pribadi moral, yang memiliki kepekaan dan kesadaran tertentu terhadap nilai-nilai moral, nilai-nilai kebaikan. Sebagai pribadi moral inilah yang membuat kita berani menentang dan mengecam tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai pribadi moral ini juga sering muncul pertentangan-pertentangan dalam diri bila dalam diri muncul keinginan untuk bertindak tanpa moral.
Untuk membentuk pribadi moral memang memerlukan proses. Keluarga, sekolah, lingkungan dan agama hanyalah sarana untuk membentuk pribadi moral. Walaupun berada dalam keluarga, sekolah, lingkungan tanpa moralitas dan non agamis, bila pribadi moral sudah memiliki moral yang tinggi, yang mempunyai harga diri dan tahu diri, akan sulit menjadi pribadi yang tanpa moralitas (Moralitas tanpa guru).
Untuk itu kita tak perlu heran atas kejadian-kejadian tanpa moralitas yang kerap terjadi di sekitar kita, walaupun itu berada dalam lingkungan yang penuh ajaran-ajaran moral. Semua itu bukan karena gurunya, bukan karena keluarganya, bukan karena lingkungannya, juga bukan karena agamanya, tetapi karena pelakunya tidak punya harga diri dan tahun diri.
Selanjutnya bagi oknum yang telah mencemarkan nama baik guru, mencoreng moralitas guru, kita mendesak kepada pihak-pihak yang terkait agar bertindak tegas dan kepada Dinas Pendidikan tidak perlu mempertahankan guru-guru tanpa moralitas. Masih banyak guru yang punya moralitas, masih banyak guru yang mempunyai prestasi, masih banyak guru yang benar-benar bekerja dan mengabdi tanpa mengharapkan tanda jasa.
SELAMAT HARI GURU YANG KE 65, 25 NOPEMBER 2010.
Semoga guru tetap guru yang digugu dan ditiru, penjunjung tinggi akhlak dan moralitas, peletak landasan sumberdaya manusia.
Kita sadar bahwa tanpa guru kita tidak mungkin menjadi apa yang kita harapkan.
Terima kasih guru !!
Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar